09.30

Different Yes/No, I Don't Care

Part one




Hal yang membuat kita menyadari bahwa kita ada adalah perbedaan, karena perbedaan adalah kata yang telah banyak membantu kita menyadari keeksistesian sebuah keberadaan., baik suatu benda, sifat, atau lain sebagainya bahkan hal-hal yang tidak konkrit sekalipun. Bahkan keberanekaragaman lah yang membuat kita menjadi bangsa yang kaya, dan dalam islam sendiri perbedaan adalah rahmat Tuhan yang harus disyukuri dan dicerdasi dengan intelektual yang tidak memihak pada kepentingan diri, galongan atau sebagainya agar tidak terjadinya konflik-konflik seperti penomor duaan oranglain hingga muncul system-sistem patrialkan tanpa sadar dan berefek pada pengusiran tanpa sadar mereka (golongan te rtentu) dari wilayah, hukum, agama, filsafat, ekonomi, politik dan lain sebagainya, dengan dibatasi atau dikekang secara fisik maupun akal dibawah kekuasaan yang lainnya. Dan hal ini sudah dilegalkan tanpa sadar dan melekat dalam pikiran semua orang, laki-laki dan perempuan, sudah diwajarkan.

Namun berbicara masalah perbedaan, saat ini memang topic keperempuanan sedang hangat dan selalu menjadi topic pembicaraan, disamping pembahasan isu-isu social lainnya, bahkan ada beberapa universitas didunia yang mengangkat secara khusus tema feminisme atau hal yang berkaitan dengan perempuan sebagai materi kuliah khusus. Bahkan secara local pun dapat kita rasakan sendiri wacana-wacana seputar keperempuanan yang tidak hanya muncul dari perempuan sendiri, namun laki-laki pun tak kalah banyak beranggument dalam hal ini, terlepas dari penyaluran hasrat provokasi atau penengah dari brbagai polemik yang sedang menjamur.
Beberapa hari yang lalu terjadi pebicangan yang puntung antara saya dan beberapa rekan-rekan saya, hingga akhirnya sekarang saya berniat mengajak teman-teman semua untuk sedikit meluangkan waktu untuk mencerdasi bersama kontradiksi yang selalu terjadi terhadap makna keadilan, kebebasan, hak-hak, dan lainnya dalam realita yang sering berbenturan dengan nilai-nilai moral /kehormatan, agama, dan lain sebagainya, hingga muncul statment-statement “aneh” disekitar kita, seperti “Berarti memang benar perempuan itu derajatnya dibawah lelaki, lihat saja agama membenarkannya”. Saya mengatakan “aneh” dalam tanda kutip, artinya sulit bagi saya untuk menganggapnya suatu hal yang wajar, apalagi disandarkan pada agama, karena pada dasarnya agama bukanlah pengekangan, penindasan, namun agama adalah keadilan dan kebebasan.

Lantas mengapa harus mengatakan hal-hal seperti itu? Saat ini kita sering berada pada landasan yang labil dalam menyingkapi berbagai persoalan, dan hal yang bisa mengatasi ini semua adalah hanya dengan memahami betul-betul makna dari perbedaan yang diberikan Tuhan, yang sebenarnya dengan bersama-sama kita bisa membentuk kekuatan besar yang nantinya bisa peradaban yang lebih baik, bukan terus menerus saling menilik kelemahan diantara keduanya.

Hal yang perlu diingat dan dipahami benar-benar seharusnya adalah kita berbeda bukan dalam konteks baik-buruk, tapi hanya berbeda untuk saling melengkapi.
Jika banyak orang yang mengatakan bahwa perempuan itu walau bagaimanapun tetap makhluk yang kedua dimuka bumi ini, apapun yang mereka lakukan, semua, tetap saja mereka harus selalu dibawah kaki laki-laki, artinya pandangan seperti ini secara tidak langsung kita membenarkan konsep gereja/barat yang mengatakan perempuan adalah dewi primitive yang dalam hidupnya tidak perlu berbuat lebih, karena tugasnya hanya terdiri dari lima fase; melahirkan, menyusui, menjadi ibu, menoupouse, dan mati.
Lalu hal yang tak jarang kita dengar juga adalah “bukankah penghuni terbanyak dalam neraka itu adalah perempuan”, “perempuan tak perlu terlalu bebas bergerak”, “perempuan racun/penghancur moral” itu artinya secara tidak langsung perempuan itu adalah makhluk terkutuk, apalagi dari awal penciptaan Hawa pun telah menyepak Adam dari keluar dari kenikmatan syurga sebab ulahnya. Olek karena itu sudah seharusnyalah semua perempuan menanggung beban –kutukan- harus melahirkan, harus menahan rasa sakit dan menjalan berbagai kehidupan yang sulit-sulit.

Jahilyah, Grail dalam gereja sendiri awalanya merupakan symbol keperempuanan yang kemudian dibalik konsep oleh gereja sendiri, dalam artian perempuan harus disingkirkan karena ini menyangkut keberadaannya yang sering lebih banyak dan mengancam eksistensi laki-laki. Hingga akhirnya dirancang konsep dosa asal mecicipi apel dan jatuhlahlah ras manusia, karena perempuan adalah golongan yang telah menghapus kehidupan suci, maka mereka tak perlu untuk ada didepan, malah masa jahilyahpun perempuan dikatakan hanya membawa petaka hingga akhirnya dikubur hidup-hidup.

Di Aceh, dalam konflik Aceh sendiri seolah ada penekanan terhadap ranah-ranah public terhadap perempuan selama 32 tahun. Hal ini telihat dengan penghilangan secara sistematis politikus-politikus perempuan hingga muncul pandangan bahwa perempuan tidak mempunyai kualitas dalam berpolitik, dan bahkan banyak sekali kasus yang merugikan perempuan semasa konflik yang sampai hari ini tidak diproses lagi, dibiarkan mengambang. Padahal dalam sejarah kejayaan Aceh juga tidak terlepas dari peran perempuan-perempuan yang tidak membiarkan dirinya, agamanya,bangsanya tertimbun ketidakadilan

Dalam agama Islam sendiri, tak ada perbedaan antara derajat laki-laki dan perempuan, semua sama seperti “gigi sisir yang sederajat” (hadits) dan tentunya yang membedakannya hanya iman dan ketaqwaannya kepada Tuhan. Agama adalah keadilan . Bukan hanya sekedar kumpulan kertas-kertas yang berisi aturan-aturan yang dirancang oleh manusia-manusia yang diterbitkan, diperjual belikan, disiarkan demi kepentingan pribadi. Kebebasan, keadilan, dan persamaan dalam konteks yang normative itulah agama. Serta ukuran kehormatan antara laki-laki dan perempuan harusnya dipandang sama pula, artinya dalam standarisasi yang satu, jika tidak hilang makna akan kehormatan itu sendiri jika hanya menekan satu pihak.

Oleh karena itu, selayaknyalah pemahaman klasik terhadap dualisme keadilan dihilangkan, agar marginalisasi terhadap golongan tertentu dapat dihapuskan meski sudah seperti warisan sejak zaman perbudakan yang sudah melampaui batas dan terus berbekas pada setiap generasi, hingga timbul penindasa-penindasan yang dilakukan secara sadar maupun tidak. Serta untuk melawan neo-kolonialisme dalam tatanan dunia global saat ini dibutuhkan perjuangan bersama-sama, bukan saling membudakkan. Agama adalah kartu penting dalam hal ini, agar perempuan tidak dianggap sembagai alat dalam mesin kapitalis didalam dan diluar rumah di era neo-imperiaisme saat ini. Agama, politik, ekonomi tidak mungkin dipisahkan, dan agama tidak menjadikan kemungkaran sebagai kebaikan dan kebaikan sebagai kemungkaran.

Rasulullah sendiri telah menghapuskan konsep perbudakan dalam islam, karena derajat semua oreng adalah sama, setiap orang memiliki hak hidup dan berhak mengaktualisasikan hidupnya sesuai dengan aturan-aturan yang wajar dalam agama. Sebagai agama fitrah dan rahmat untuk sekalian alam sesuai dengan kalam Tuhan yang artinya “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain” (Q.S.At-taubah: 7) jelas tak ada perbedaan antara keduanya kecuali kemampuannya memikul tanggung jawab dan ilmu.