22.25

“hayalan ini setinggi-tingginya, seindah-indahnya…..”

“hayalan ini setinggi-tingginya, seindah-indahnya…..”

Berhayal, memang tak ada yang berhak melarang, karna imjinasi itu adalah fitrah setiap kita, temasuk berhayal hidup disebuah negri yang subur, damai, dan tenang tanpa ketimpangan-ketimpang, tapi terkadang ingin rasanya berada dinegri nyata seperti negri dalam hayalan tersebut agar tak ada gundah, gelisah dihati, tapi inilah tantangan hidup manusia, Tuhan memberi kita akal, pikiran, serta kekuatan fisik untuk berjuang dalam hidup. Tuhan pun tak akan merubah suatu kaum jika mereka tidak berusaha untuk menggunakan setiap kekuatan yang telah diberikan, hal ini juga tidak terlepas dari semua tindak vertical dan horizontal, kewjiban kepada Tuhan dan kepada sesama manusia.



Namun, meskipun kita berhayal, kita sadar bahwa kenyataan sering, bahkan selalu bersebrangan dengan jagat hayal kita. Lihat saja ketika kita keluar dari dunia hayal kita, berjumpa dengan realita, tampaklah apa yang sebenarnya terjadi dengan negri ini, yang sering jauh dari apa yang sering orang atas bicarakan, yang katanya perekonomian mikro negri ini sudah sangat maju dan berkembang, kata meraka.



Hari ini diatas gunung ini, ketika tulisan ini terpaksa kutulis untuk sekedar bercerita tentang perasaanku, kecenganganku pada pagi ini, terhadap jawaban polos seorang bocah laki-laki yang sedang memungut pinang-pinang kuning, bukankah ini jam sekolah? Bagi anak seumuran dengannya. Pukul Sembilan kawan. Ketika aku bertanya, “iya, tahu” katanya, “alah kupue teuma, loen hawa baje bola, meunjoe jak sikula hana jeut ta bloe baje bola, sipatu loem,, hek mantoeng diyue leh pue pue, habeh peng mantoeng,,”



Singkat memang, dan munafik jika kita mengatakan kita tak mengerti apa maksudnya, apa latarbelakang dia berkata demikian. Karena ini bukan sekali kita berjumpa dengan kenyataan seperti ini, ini adalah kesekian kalinya. Seandainya ditanya siapa yang salah, terkadang aku tidak ingin mengatakan pemerintah. Tapi jika disuruh mengulas kata aku akan akan menyalahkan pemerintah.



Isi UUD dan pembukaannya sepertinya akan selalu menjadi karya tulis yang sistematis, yang tebaik yang pernah dimiliki negri ini, terlalu indah sehingga harus disimpan didalam lemari jauh dari debu, jauh dari rayap, terlalu ribet mugkin jika disimpan dihati, lebih gampang menciptakan aturan baru, kemudian pelaksanaannya pun jauh dari kekonsistenan. Maklumlah, Negara berkembang ini katanya, yah…mungkin memang iya, saatnya berkembang bebas dan terus mengembang, dan sangat menyedihkan seandainya terjadi pengembangan yang sangat ironis dengan tujuan dasar, kesejahteraan.



Salahkan jika mengatakan bahwa pemerintah telah mengingkari falsafah dasar negri ini, pemerintah mendustai UUD, disaat terlihat jelas pengingkaran kesempatan anak bangsa untuk menikmati wajib belajar 9 tahun, dan dalam pasal 31 jelas disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kecerdasan bangsa.



Melihat realita saat ini, disaat kemauan rakyat tak sama dalam hal menuntut ilmu. Pantaskah pemerintah mengatakan bahwa mereka telah lelah mengurus semua ini, karena permasalahan ingti dari semuanya sebenarnya adalah emosional individu, ohhooww….Lantas “kupue meusigak that jak calon droe keu pemimpin ?”.



Kita bisa melihat disaat pemilu, pilkada, pilkades, dan pilka-pilka lainnya. Jelas tergambar emosi, ambisi untuk menjadi pemenang, dan sikut kanan sikut kiri itu hal biasa, semua cara ditempuh agar bisa mendapatkan sebuah kursi, entah ~kita mana tahu~ apa tujuan sebenarnya. Apkah kekuasaan mutlak untuk kesejahteraan orang lain, atau malah kekuasaan yang terkontaminasi dengan hasrat memperoleh jalan pintas menjadi hartawan, maklum sajalah negri ini berbeda dengan negri lain.



Lihat saja Amerika, disaat seseorang ingn menjadi penguasa/mendapatkan jabatan, mereka harus memiliki kekayaan yang memadai terlebih dahulu, baru kemudian mencalonkan diri menjadi penguasa, sedangkan dinegri ini kebalikannya, kejar kekuasaan dulu, baru kemudian menjadi kaya raya. Kultur yang berbeda, karena itu tak perlu heran jika sosok-sosok seperti Om Gayus muncul.



Benarkah begitu utopisnya mengharapkan sosok pemimpin seperti Rasulullah, atau setidaknya seperti para Kulafaurrasyidin?



Apa yang sering terjadi hari ini jika dikatakan sebuah media pembelajaran, bahkan selalu dikatak sebuah proses menuju kesejahteraan, sebuah proses pendidikan, maka siapa sebenarnya yang mendapat didikan baik dari kenyataan ini, karna yang ada hanya paranoid terhadap penguasa, hidup dalam tekanan. Tak salah mungkin jika ada orang yang membeci kalimat “kegagalan adalah awak dari kesuksesan”. Karena kata-kata itu adalah bentuk kepesimisan yang dilapisi dengan semangat pembenaran kegagalan. Ada baiknya mungkin tak ada kata kegagalan dalam hidup ini, sehingga tak perlu dirangkai kalimat “kita akan bangkit kedepan”, kedepan, kedepan, dan kedepan. Kita akan menang kedepan, kedepan, dan kedepan. Entah dimana garis “finish” kedepan itu.



Ini memang permasalahan kata, siapapun berhak berkata-kata.



Tapi ini negri kita, benarkah? Teringat dulu ~sederhananya~ setiap senin ketuka sekolah dasar, sekolah menengah, atau akhir dan untungnya tidak ada lagi sekarang ketika kuliah. Setiap pagi senin setiap sekolah pasti mengadakan upacara penaikan bendera dengan lantunan lagu Indonesia raya, sebagai symbol nasionalisme, cinta tana air. Sedikit penggalan liriknya “…indonesia raya, tanah airku,..tanah tumpah darahku.. disanalah aku berdiri,..” ya,, disana, disanalah aku berdiri, disana. Dimana? Dimana sebenarnya tanah airku? Kita bernyanyi, berdiri disini yang ternyata bukan disana.

Wajar serba ironis. Karena disana itu adalah bangsa bermoral, menjunjung tinggi hak asasi setiap warga, budayanya beragam, tak miskin identitas, menghargai segala perbedaan, jujur, adil, dan pastinya lebih bermartabat. Tapi, itu disana, entah dimana. Masih diawang-awang. Wallahu'alam.....



Bukan menyalahkan W.R Supratman dalam meciptakan lirik lagu ini, malah beliau sangat objektif dalam merangkai kata-kata. Karna memang kita belum berada pada negri yang selalu tersebutkan dalam buku-buku pendidikan kewarganegaraan dan buku-buku nasionalisme lainnya.



Semakin hari semakin membingungkan saja ternyata, terkantung-katung tak jelas arah, kenyang dengan tawaran-tawaran utopis mereka yang punya kaki panjang. Harusnya, jika memang setengah hati, jangan pernah tawarkan, kosong!



Lampanah, 2010



22.15

"Miniatur Nuh” refleksi Tsunami, 26 Desember 2004, Antara azab dan ujian)

"Miniatur Nuh” kata guruku (refleksi Tsunami, 26 Desember 2004, Antara azab dan ujian)

Ingatkah kau kawan?

Tentang romantika berabad-abad silam, ada cinta disana, ada luka disana, ada lara disana



Saat bahtera akan berlayar, ada cinta terpaksa dipangkas



Bukan karna terlalu panjang, namun karna Tuhan tak ridha



“selamat tinggal sayang…."



"Aku tetap harus berlayar tanpa kalian” kata Nuh penuh derai air mata



“kering sudah air dimulutku mengiba, kini terpaksa ku harus ikhlaskan, air dari Tuhanku menjemput mu sayang, kalaupun aku harus menangis. Aku berharap tetesan –tetesan ini tak akan menambah arus gelombang yang akan menyelimuti malam dan hari terakhir kalian, istriku, anakku,,, terlambat sudah,,” rintih Nuh.



Terpaksa Nuh mengiba, dan mengadu pada Tuhannya

“Ya,,, Tuhanku, Dan sesungguhnya setiap kali menyeru mereka untuk beriman agar Engkau mengampunin mereka, namun mereka memasukkan anak jari mereka ketelinganya, dan menutup bajunya ke wajah mereka dan tetap mengingkari dan menyombongkan diri. (Q.S Nuh :7)…………….”



“Tuhanku,, berbagai cara telah ku lakukan, tapi mereak tetap tak mau membuka sedikit mata hati mereka, terhadap Engkau yang menciptakan langit yang berlapis-lapis, lalu menurunkan hujan yang tak hanya dari langitpun Engkau mampu. Mereka lupa duhai Tuhanku, tak cukup titah penghambaan dariku pada mereka untuk-Mu,, kalam-Mu tak cukup untuk mereka sadar, Engkaulah yang harus disembah…!! Mereka sepertinya butuh azab_mu”



“ selalu ku berkata,,,mohon ampun pada Tuhan-mu, sungguh, Dia Maha Pengampun, jika tidak niscaya Dia akan menurunkan hujan lebat dari langit kepadamu,(Q. S. Nuh 10-11)”



“ Ya Tuhan-ku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku.(Q.S . Nuh:21)”



Bahtera itu pun akhirnya berlayar, berhari-hari, berminggu-minggu…





Lihatlah kawan, apa ini??!

Saudaraku, Lihatlah,,



Ini bukan sekedara kayu lapuk, tuha, bahkan kau kira tah berharga.

Ini bukan sekedar pajangan yang kau tonton, bukan sekedar pajangan yang kau masukkan kedalam pigura-pigura perak.



Tapi buka mata hatimu,,



Untuk sepersekian waktu saja kembali kemasa lalu.. ini mungkin sepersekian dari bahtera Nuh masa silam!!



Ini bahtera Nuh,,,!!



Ini miniature bahtera Nuh…



Meski tak seutuhnya persis..

Tapi kau harus tahu, Tuhan murka!



Ketamakan, keserakahan, kemunafikan, kebohongan, angkuh meraja dibumi Nya,, saban hari, saban waktu angkara semakin tajam menyibak taring!! Tanpa belas kasihan,,, Tanpa malu,. Terus bersetubuh bersama nurani

Saatnya menginjak,,! Saatnya memangkas…!!



Seolah itu titah alam yang tertulis didinding-dinding jagat ini, kabur sudah nurani, kabur bersama kejayaan..



72 bulan berlalu,,



Terhadap ikan-ikan yang menggelempar, terjemur tanpa tuan, dedaunan merenggang, pasir-pasir mengangga, dan mayat-mayat berhamburan dari berbagai penjuru, hingga lelah Izrail mencabut nyawa untuk setiap detik seribu nyawa, hingga tak sempat Izrail menata urut siapa pertama yang yang harus berada pada urut pertama kematian.



Semua terlalu cepat, tapi kita tahu Izrail bukan malaikat bodoh



Dia tahu, lidah mana dalam setengah detik seribu nyawa yang masi basah dengan Asma-Nya,.

Dia tahu, tuhan-tuhan apa yang kita sembah setiap waktu, dia tahu apa yang pantas untuk kita





6 Tahun, tak cukup untuk kita mencari puing-puing nurani,,

Diantara puing-puing tsunami yang saban hari mulai tertata lagi,,



Atau memang air bah, lumpur belerang itu tak cukup untuk menjadi peringatan agar kita utuh merajut jala toleran tanpa anarkis, tanpa tiran-tiran



Atau memang tangis di gubuk-gubuk tua itu adalah nyanyian untuk kita, agar semakin nyenyak terlelap dalam

mimpi diatas bantal sutra bersulam emas sulaman cacing diperut mereka,, setiap hari, setiap waktu…



Haruskan kita tunggu, miniature-miniatur Nuh lain tercipta untuk sebuah perubahan, untuk memberi sedikit makan

cacing diperut mereka



Haruskan tsunami datang lagi, menghibur kita, agar ada goresan damai sehari diatas kertas(lagi)





Lampulo, 26 Desember 2010