05.56

Ada Titipan “Miniatur Nuh” Diatas Rumahku

(Refleksi Tsunami, 26 Desember 2004, Antara azab dan ujian, diangkat dari kesaksian pemilik rumah dibawah boat, Lampulo)

Ingatkah kau kawan? Tentang romantika berabad-abad silam, ada cinta disana, ada luka disana, ada lara disana. Saat bahtera akan berlayar, ada cinta terpaksa dipangkas. Aku rasa, bukan karna terlalu panjang, namun karna Tuhan tak ridha.
“Selamat tinggal sayang. Aku tetap harus berlayar tanpa kalian” kata Nuh penuh derai air mata“Kering sudah air dimulutku mengiba, kini terpaksa ku harus ikhlaskan, air dari Tuhanku menjemputmu sayang, kalaupun aku harus menangis, aku berharap tetesan –tetesan ini tak akan menambah arus gelombang yang akan menyelimuti malam dan hari terakhir kalian, istriku, anakku. Terlambat sudah” rintih Nuh.
Terpaksa Nuh mengiba, dan mengadu pada Tuhannya “Ya… Tuhanku, Dan sesungguhnya setiap kali menyeru mereka untuk beriman agar Engkau mengampunin mereka, namun mereka memasukkan anak jari mereka ketelinganya, dan menutup bajunya ke wajah mereka dan tetap mengingkari dan menyombongkan diri. (Q.S Nuh :7)”
“Tuhanku,, berbagai cara telah ku lakukan, tapi mereka tetap tak mau membuka sedikit mata hati mereka, terhadap Engkau yang menciptakan langit yang berlapis-lapis, lalu menurunkan hujan yang tak hanya dari langitpun Engkau mampu. Mereka lupa duhai Tuhanku, tak cukup titah penghambaan dariku pada mereka untuk-Mu,, kalam-Mu tak cukup untuk mereka sadar, Engkaulah yang harus disembah…!! Mereka sepertinya butuh azab-mu”
“ Selalu aku berkata agar mereka memohon ampun pada Tuhan-mu, sungguh, Dia Maha Pengampun, jika tidak niscaya Dia akan menurunkan hujan lebat dari langit kepadamu,(Q. S. Nuh 10-11)”
“ Ya Tuhan-ku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku.(Q.S . Nuh:21)”
Bahtera itu pun akhirnya berlayar, berhari-hari, berminggu-minggu. Lihatlah kawan, apa ini?! Saudaraku, Lihatlah!
***
Minggu 26 desember 2004, telah menjadi hari yang sangat bersejarah bagi masyrakat dunia, khususnya di Aceh, dan tak terkecuali Abasiah atau sering dipanggil Buk Abes. Tak pernah ia bayangkan akan datang gempa berkekuatan 8,9 skala richter. Gempa yang membuatnya tak bisa berdiri apalagi berjalan. Namun saat itu ia sedang tidak berada dirumah namun dikawasan Lamdingin, sontak ia langsung teringat anaknya, tak ada hal lain kecuali anak-anaknya.
“Saya langsung teringat anak-anak saya, namun saya teringat kata-kata ustadz bahwa ini pasti bukan kiamat, karena jika kiamat terjadi seorang ibu yang sedang mengandung sekalipun tak mungkin lagi teringat anak-anaknya. Namun saya masih memikirkan anak-anak saya, apalagi suami saya sedang berada diluar kota. Sayapun langsung pulang kerumah” Ungkap bu Abes. Tak berselang lama dari kejadian gempa seorang warga berteriak air laut naik, tanpa pikir panjang Bu Abes menarik anaknya (Agin, Ghazi, Yanti-anak angkat-, Thoriq, dan Zafla) untuk naik kelantai dua, air laut terus naik.
Tampak dari jendela boat-boat ikan mendekat kearah rumahnya setelah ditarik mudur kebelakang lalu dilepas lagi. “Saya jadi teringat kisah Nabi Nuh yang diceritakan almarhum ayah saya dulu, Hasbunallah wanikmal wakil pun tak pernah henti-hentinya saya ucapkan” tegas Bu Abes. Dan tak lama kemudian sebuah boat besar menabrak rumah Bu Abes, dan ada beberapa warga yang juga naik kelantai dua tersebut, mereka langsung naik keatas boat tersebuah dengan tangga yang datangnya entah dari arah mana.
Boat tersebut tak lagi bergerak kemana-mana, menetap diatas rumah Bu Abes. “Sampai pukul 14.30 Wib akhirnya air mulai surut, tak terasa lagi ombang-ambing diatas boat seperti didalam blender, mungkin inilah peringatan Tuhan untuk kita” tambah Bu Abes, dan mengaku iabahwa ada 59 orang warga yang akhirnya selamat diatas boat tersebut, satu diantaranya adalah bayi Ibu Fauziah yang berusia enam bulan.
Ketika hendak turun bu Abes dan warga yang selamat diatas boat tersebut kembali tekejut dengan kehadiran tangga untuk memudahkan mereka turun. SUBHANALLAH. Begitu sampai dibawah, bu Abes melihat untuk terakhir kalinya rumahnya yang sudah “diduduki” oleh boat besar. Takut-takut air akan naik lagi dengan segera rombongan meninggalkan Lampulo, dalam genangan air zikirpun tak henti-hentinya terucap dibibir mereka, sambil melewati mayat-mayat dan rerutuhan bangunan gempa dan kayu-kayu yang dibawa air laut yang akhirnya diketahui itu adalah air tsunami.
***
Ini bukan sekedara kayu lapuk, tuha, bahkan kau kira tah berharga. Ini bukan sekedar pajangan yang kau tonton, bukan sekedar pajangan yang kau masukkan kedalam pigura-pigura perak. Tapi buka mata hatimu. Untuk sepersekian waktu saja beselancar kemasa lalu.. ini mungkin sepersekian dari bahtera Nuh masa silam!
Ini bahtera Nuh. Ini miniatur bahtera Nuh! Meski tak seutuhnya sama. Tapi kau harus tahu, Tuhan murka!
Ketamakan, keserakahan, kemunafikan, kebohongan, angkuh meraja dibumi Nya. Saban hari, saban waktu angkara semakin tajam menyibak taring! Tanpa belas kasihan. Tanpa malu. Terus bersetubuh bersama nurani
Saatnya menginjak! Saatnya memangkas! Seolah itu titah alam yang tertulis didinding-dinding jagat ini, kabur sudah nurani, kabur bersama kejayaan..
83 bulan berlalu.
Terhadap ikan-ikan yang menggelempar, terjemur tanpa tuan, dedaunan merenggang, pasir-pasir mengangga, dan mayat-mayat berhamburan dari berbagai penjuru, hingga lelah Izrail mencabut nyawa untuk setiap detik seribu nyawa, hingga tak sempat Izrail menata urut siapa pertama yang yang harus berada pada urut pertama kematian. Semua terlalu cepat, tapi kita tahu Izrail bukan malaikat bodoh
Dia tahu, lidah mana dalam setengah detik seribu nyawa yang masi basah dengan Asma-Nya.
Dia tahu, tuhan-tuhan apa yang kita sembah setiap waktu, dia tahu apa yang pantas untuk kita.
7 Tahun, tak cukup untuk kita mencari puing-puing nurani.
Diantara puing-puing tsunami yang saban hari mulai tertata lagi.
Atau memang air bah, lumpur belerang itu tak cukup untuk menjadi peringatan agar kita utuh merajut jala toleran tanpa anarkis, tanpa tiran-tiran.
Atau memang tangis di gubuk-gubuk tua itu adalah nyanyian untuk kita, agar semakin nyenyak terlelap dalam mimpi diatas bantal sutra bersulam emas sulaman cacing diperut mereka,, setiap hari, setiap waktu.
Haruskan kita tunggu, miniatur-miniatur Nuh lain tercipta untuk sebuah perubahan, untuk memberi sedikit makan cacing diperut mereka
Haruskan tsunami datang lagi, menghibur kita, agar ada goresan damai sehari diatas kertas(lagi)

Lampulo, 26 Desember 2011