18.18

Wajah Baru di Negri Syariat

Oleh: Maulidar Yusuf A (29 Januari 2012)

Simbol syariat Islam kembali tegoncangkan, kali ini dengan adanya kabar akan dibangunnya Best-Westren Hotel disamping Mesjid Raya Baiturrahman. Banyak kalangan yang menolak pembangunan hotel berstandard internasional tersebut disamping Mesjid Raya tersebut, karena ditakutkan akan mengaburkan kekhasan nuansa islami di Aceh.

Mesjid Raya adalah citra islami tertinggi yang ada di Aceh dan segaligus telah menjadi trend mark dari kota Banda Aceh sendiri. Sebagai salah satu mesjid termegah di Asia Tenggara, mesjid Raya telah membawa nama Islam di Aceh tersebar keseluruh pelosok negri. Mesjid yang dibangun pada tahun 1022 pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda ini sudah ada sejak dulu menjadi penegas akan kharisma islam di Aceh. Meskipun mesjid ini hanya sebatas symbol Islam, namun symbol inilah yang akan selalu menyadarkan kita akan keberadaan Islam disisi kita, meskipun keadaan zaman terus berubah. Tidak bisa pastikan apakah rasa hormat terhadap keislaman akan tetap ada jika adahal lain yang lebih menantang dan berpengaruh berada disampin asset peninggalan Islam dunia ini.

Pembangunan Best Westren Hotel disamping mesjid raya adalah tantangan terbesar bagi keberadaan symbol Islam termegah di Aceh jika kita melirik sekilas apa itu Best Westren Hotel. Best Western Hotel adalah salah jaringan perhotelan Internasional yang bepusat di Amerika Serikat, dan kondominium Best Western Internasional merupakan jaringan hotel internasional terbesar di dunia dengan kepemilikan 4.000 hotel.

Berdasarkan pemberitaan dari berbagai media saat ini, pemrintah Kota Banda Aceh sendiri telah mensahkan pembagunan hotel berbintang yang memiliki 14 lantai dengan ketinggian 42 meter dilokasi Geuta Plaza dulu, posisinya tepat 300 meter dari Mesjid Raya Baiturrahman. Best Western Hotel di disamping Mesjid Baiturrahman. Hotel berbintang berlantai 14 dengan ketinggian 42 meter akan dibangun di Banda Aceh yang lokasinya dibekas Geunta Plaza atau tepatnya 300 meter sebelah tenggara Masjid Raya Baiturahman yang akan menelan investasi Rp200 miliar.

Meskipun konsep yang digunakan adalah konsep islami, seperti membangun jembatan yang menghubungkan hotel dengan mesjid raya, sehingga penginap di hotel bisa secara langsung menuju ke Mesjid Raya dan melaksanakan shalat tahajud. Islami dengan hanya shalat tahjud? Banyak kalangan mengangap itu hanyalah polesan nama “islam” agar masyarakat tidak memandang negative. Secara real kita bisa melihat bagaimana system Hotel Internasional yang telah berkembang diberbagai wilayah, jangan lihat terlalu jauh, hari ini saja di Aceh pun sudah ada hotel yang berstandar internasional namun sayangnya kekuatan otonomi khusus terhadap pemberlakuan syariat islam seolah tidak mengetarkan pelanggaran syariat yang terjadi dihotel-hotel tersebut.

Belum lagi dengan adanya pendirian Mall disampingnya, semua orang turut mempertanyakan bagaimana nasib penjual di Pasar Aceh? Secara otomatis mereka harus bersaing dengan pelanggan yang lebih memilih berbelanja di Mall, hal ini disebabkan trend berbelanja di Mall karena pengaruh pemikiran agar lebih terlihat modern meskipun hanya menguntungkan pemilik modal dan menggelapkan Pasar Aceh sebagai salah satu warisan sejarah Aceh yang menjadi sumber ekonomi masyarakat. Mengapa pemerintah saat ini mementingkan kepentingan korporasi dan pedagang besar
Dari kalangan perempuan sendiri, penulis juga ingin mengungkapkan sebuah kekhawatiran besar terhadap akan meningkatnya peluang prostitusi yang identik oleh
PSK di Seramoe Mekkah. Meskipun hal ini bukan hanya karena pembangunan Best Western Hotel, melirik pada realita penyebab meningkatnya prostitusi di Aceh saat ini yang tidak hanya disebabkan oleh kalangan perempuan sendiri. Betapa banyak peluang yang disediakan berbagai pihak secara langsung atau tidak untuk peluang prostitusi di Aceh selain himpitan ekonomi disamping kurangnya pengetahuan agama bagi masyarakat Aceh meskipun telah lama menyandang kata “islami”.

Setiap hotel memiliki aturan tersendiri, apalagi hotel berbintang. Fasilitas hotel berbintang yang menyediakan fasilitas-fasilitas yang juga sangat memiliki pengaruh besar terhadap syariat islam sendiri. Bagaimana fasilitas ini nantinya bisa ditahan kepada pengunjung, bukankah mereka sudah membayar mahal untuk menikmati setiap fasilitas yang disediakan. Kita juga bisa membandingkan dengan kenyataan yang telah terjadi pada salah satu hotel berbintang di Banda Aceh, meskipun kecaman telah datang dari berbagai kalangan terhadap keberadaan pub di hotel tersebut agar ditutup, namun faktanya sampai saat ini belum ada tindakan tegas dari pihak-pihak yang memiliki wewenang untuk itu. Lantas, haruskah kita membiarkan lagi pengadaan Hotel berbintang yang memiliki peluang besar menyediakan tempat-tempat maksiat, apalagi rencananya akan dibangun tepat di sebelah tenggara Mesjid Raya Baiturrahman.
Ibarat pepatah Aceh yang mengatakan “meujoe ta pula pade naleung pasti djitimoh keudroe, tapi miseu tapula naleung peukeuh ek mungken pade dji timoh keudroe?” (kalau kita tanam padi, pasti rumput akan tumbuh sendiri. Namun apakah jika kita menanam rumput, padi akan tumbuh?). Singkatnya, apakah jika hotel islami di sediakan maka akan memungkinkan pengetahuan islam meningkat pada masyarakat?. Padahal disaaat meningkatnya degradasi moral yang berakibat pada munculnya berbagai macam konflik saat ini, dukungan terhadap pembangunan fisik dan non-fisik untuk pengetahuan keislaman adalah hal ter-urgent agar konsep islami bisa hadir dengan sendirinya.

Pembangunan Nasional memang hak semua warga Indonesia, namun jangan sampai mengabaikan khasanah-khasanal lokal yang berakibat hilangnya identitas kedaerahan apalagi keagamaan Kearifan local hanya akan menjadi kenangan. Untuk itu penulis, mewakili suara masyarakat Aceh menghimbau kepada pemerintah untuk lebih arif dalam mengambil kebijakan. Bukan maksud menolak pembangunan di Aceh, namun banyak sekali pertimbangan yang harus dilihat dari berbagai aspek.

17.32

Bukti Cinta Sang Sultan


(Gunongan, pinto khop, Peterana, Balai, Pinto Khop dalam lingkaran Taman sari/gairah)
Oleh : Maulidar Yusuf A


Tersebutlah dalam kitab Bustanul Salatin (Taman raja-raja) yang ditulis oleh seorang ulama besar dimasa kerajaan Aceh Darussalam diabad XVII M, ulama yang sangat jaya dimasa pemerintahan Iskandar Thani, yaitu Nuruddin Ar-raniry.


Tepat ditengah kota terdapatlah taman seluas 1.000 depa lebih. Taman yang sangat indah, dihiasi berbagai jenis bunga dan bangunan-bangunan berukir, namanya Taman Sari Gunongan, sering disebut juga Taman Gairah. Taman terindah dimasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Alkisah, disebutkan bahwa taman ini adalah symbol kekuatan cinta Sultan kepada pemainsurinya yang cerdas dan cantik jelita, Putri Pahang (Putro Phang). Putri dari negri seberang ini merasa kesepian ditengah kesibukan suaminya sebagai kepala pemerintahan. Tak jarang ia pun rindu terhadap pengunungan yang ada dikampung halamannya,Pahang, sebuah tempat yang telah berhasil ditaklukkan oleh Sulthan Iskandar Muda(1607-1636). Sang suami memahami kegundahan hati pemainsurinya, ia pun membangun sebuah gunung kecil (gunongan) sebagai miniature dari perbukitan yang mengelilingi istana Putro Phang di Phang.

Gonongan tersebut saat ini terletak di Jalan Teuku Umar berhadapan dengan kuburan serdadu Belanda yang gugur dalam Perang Aceh (1873-1942), yang juda dikenal dengan sebutan kherhoff. Dulunya didaerah tersebut terdapat Medan Khairani yang merupakan sebuah padang luas dan diisi dengan pasir dan kerikil, dikenal dengan nama kersik batu pelinggam.

Bangunan yang dibangun 17 Abad silam ini bersegi enam, tidak terlalu besar, berbentuk seperti bunga bertingkat tiga dengan tingkatan utamanya sebuah mahkota tiang yang berdiri tegak. Berdasarkan teks dari kitab tersebut kiranya dapat diketahui pada dasarnya bangunan Gunongan itu berdiri dengan tinggi 9,5 meter, menggambarkan sebuah bunga yang dibangun dalam tiga tingkat.

Tingkat pertama terletak di atas tanah dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di pusat bangunan. Keseluruhan bentuk Gunongan adalah oktagonal (bersegi delapan). Serambi selatan merupakan lorong masuk yang pendek, tertutup pintu gerbang yang penyangganya sampai ke dalam gunung. Pada dindingnya terdapatlah sebuah pintu masuk berukuran rendah, dan didalamnya ada tangga menuju tingkat tiga gunongan. Ada beberapa peninggalan sejarah yang terdapat didaerah tersebut.

Dalam pengkisahan secara turun temurun, Hoesein Djajadiningrat mengatakan, untuk mengecat bangunan gedung Gunongan tersebut masing-masing penduduk diperintahkan untuk memberi satu colek (saboh cilet) kapur untuk pewarnaan seluruh bangunan itu.
Dalam Bustanul Salatin, jelas disebutkan mengenai Taman Sari, yang terletak dipusat kota Banda Aceh ini, taman dengan rekayasa tatanan lingkungan serta bangunan-bangunan seperti gunongan, kandang(kuburan kerabat Sulthan), penterana batu berukir, serta pintho khop.

Peterana batu berukir
Tepat didepan kiri gunongan, terdapat sebuah batu berbentuk silinder berornamen kerrawang motif jala yang dikenal dengan Peterana Batu Berukir. Kursi Batu ini berdiameter 1 m dan tinggi 0.5 m, dan bagian tengahnya berlubang, dan sisis utara berbentuk trap semacam tangga dua tingkat. Sekeliling peterana batu berukir berhiaskan arabesque berbentuk motif atau jaring jala., Peterana itu digunakan Putro Phang untuk tempat mencuci rambut. Dulunya gunongan ini dulunya terdapat dalam rangkaian taman sari.

Peterana batu berukir berfungsi sebagai tahta tempat penobatan sultan. Belum diketahui dengan pasti nama-nama sultan yang pernah dinobatkan di atas peterana batu berukir tersebut. Bustanus as salatin menyebutkan ada dua buah batu peterana, yaitu peterana batu berukir (kembang lela masyhadi) dan peterana batu warna nilam (kembang seroja). Namun yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah peterana batu berukir kembang lela masyhadi yang terletak bersebelahan dengan Gunongan dan berada di sisi sungai.

Namun, ada yang beberapa sumber lisan mengatakan paterana ini adalah tempat Putro Phang mencuci rambutnya yang dibantu oleh dayang-dayangnya. Tak ada kepastian yang jelas dalam hal ini.

Kandang
Dalam komplek Gunongan tersebut juga dikatakan terdapat Kandang Baginda. Kandang Baginda ini merupakan sebuah lokasi pemakaman keluarga sultan Kerajaan Aceh, di antaranya makam Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) sebagai menantu Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan istri Sulthanah Tajul Alam (1641-1670).

Bangunan kandang berupa teras dengan tinggi 2 m dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm dan lebar 18 m. Bangunan ini dibuat dari bahan bata berspesi kapur serta berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan. Areal pemakaman terletak di tengah lahan yang ditinggikan. Konon lahan yang ditinggikan pernah dilindungi oleh sebuah bangunan pelindung. Pagar keliling Kandang mempunyai profil berbentuk tempat sirih dengan tinggi 4 meter.

Pagar ini diperindah dengan beragam ukiran berbentuk nakas, selimpat (segi empat), temboga (seperti hiasan tembaga). Mega arak-arakan (awan mendung) dan dewala (hiasan serumpun bunga dengan kelopak yang runcing dan bintang_seperti teratai), merupakan hiasan. Pada kolom tembok keliling berupa arabesque berbentuk pola suluran mengikuti bentuk segi empat.

Mega arak-arakan yaitu hiasan arabesque berupa awan mendung yang dibentuk dari suluran sebagai hiasan sudut pada bingkai dinding. Dewamala merupakan hiasan yang berbentuk menara-menara kecil berjumlah dua belas buah di atas tembok keliling terutama di bagian sudut, berbentuk bunga dengan kelopak daunnya yang runcing menguncup. Menurut sumber bangunan ini dibuat oleh orang Turki atas perintah Sulthan.

Lima unit Balai
Didalam tulisan Boy Nashruddin Agus, pemerhati sejarah Aceh juga disebutkan dalam Taman Ghairah juga dibangun lima unit balai dengan halaman pada tiap-tiap balai beserta teknik pembangunan dan kelengkapan ragam hiasnya. Balai merupakan bangunan panggung terbuka yang dibangun dari kayu dengan fungsi yang berbeda-beda.
Balai-balai tersebut antara lain Balai Kambang yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Kemudian Balai Gading yang berfungsi sebagai pelaksanaan kenduri, Balai Rekaan Cina tempat peristirahatan yang dibangun oleh ahli bangunan dari Cina, Balai Keemasan tempat peristirahatan yang dilengkapi dengan pagar keliling dari pasir dan Balai Kembang Caya. Sayangnya, balai-balai yang disebutkan dalam kitab Bustanul Salatin saat ini sudah tidak ada yang tersisa.

Pinto Khop
Bangunan lain yang terdapat dalam Taman Ghairah ini adalah Pinto Khop (Pintu Biram Indrabangsa) yang secara bebas dapat diartikan dengan pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja. Di dalam Busatanul Salatin disebut dengan Dewala.
Untuk menghubungkan kompleks istana dengan taman terdapatlah sebuah pintu gerbang yang bernama pinto khop. Pintu ukir ini, memiliki lebar 2 m, panjang 2 m, setra tinggi 3 m, terletak tepat ditengah Sungai Darul Asyiki. Langit-langitnya atau rongga pintu berbentuk lengkungan busur dengan ukiran barat-timur. Lalu, ornamenn-ornamen yang menghiasi bangunan ini juga didominasi oleh motif sulur-suluran. Bagian atapnya memiliki tiga tingkatan, dengan ornament dalam bingkai-bingkai. Puncaknya adalah mahkota dengan sudut meruncing.

Atap bangunan yang bertingkat tiga dihiasi dengan berbagai hiasan dalam bingkai-bingkai antara lain; biram berkelopak (mutiara di dalam kelopak bunga seperti yang ditemukan juga pada bangunan Gunongan) dan bagian puncak dihiasi dengan sangga pelinggam (mahkota berupa topi dengan bagian puncak meruncing).
Bagian atap merupakan pelana dengan modifikasi di empat sisi dan berlapis tiga. Pada sisi utara dan selatan dewala ini berkesinambungan dengan tembok tebal (tebal 50 m dan tinggi 130 meter) yang diduga merupakan pembatas antara lingkungan Dalam (kraton) dengan taman. Namun, lagi-lagi dikemudian hari tembok tersebut tidak diketemukan lagi akibat pembangunan tata ruang kota Banda Aceh.

Dugaan sementara, tempat ini merupakan tebing yang disebutkan dalam Bustanul Salatin dan bersebelahan dengan sungai tersebut. Dengan adanya perombakan pada tata kota Banda Aceh dikemudian hari, Pinto Khop akhirnya tidak berada lagi dalam satu komplek dengan Taman Sari Gunongan (taman ini juga telah berubah dari arsitektur semula seperti yang digambarkan dalam kitab Bustanul Salatin).

Bangunan Pinto Khop dibuat dari bahan kapur dengan rongga sebagai pintu dan langit-langit berbentuk busur untuk dilalui dengan arah timur dan barat. Bagian atas pintu masuk berhiaskan dua tangkai daun yang disilang, sehingga menimbulkan fantasi (efek) figur wajah dengan mata dan hidung serta rongga pintu sebagai mulut.

Komplek Gunongan pernah di eskavasi (penggalian kepurbakalaan) oleh tim dari Direktorat Purbakala, Jakarta yang dipimpin oleh Hasan Muarif Ambary pada tahun 1976. Banyak ditemukan kepingan-kepingan emas didaerah tersebut yang kemudian dibawa kemeusium Nasional Jakarta dan sebagiannya lagi di Meusium Aceh, namu tidak bisa dipastiakn berapa jumlah kepingan-kepingan emas tersebut. Selain itu juga terdapat sebuah keranda berlapiskan emas. Diperkirakan, keranda tersebut adalah milik Sultan Iskandar Thani, menantu Sultan Iskandar Muda.

Kompleks Gunongan ini adalah salah satu bukti kejayaan Aceh dimasa silam, mengenang sejarah gunongan bukanlah semata-mata membuat kita larut dalam euforia masa lalu, namun juga menjadi semangat bagi kita semua untuk melestarikannya dan berusaha terus menciptakan peradaban baru.