18.19

Sesuatu Yang Tergantung di Hatimu, Nawaitu (adat Khanduri Laot)

Oleh: Maulidar Yusuf

“Singoeh bek tuwo beuh! Jangan lupa bawa mangkuk plastic kecil ya dik, biar gampang latihan..”

“ok kaak…” koor anak-anak sambil berlari pulang.

Pesanku pada anak-anak tari binaanku disanggar agar membawa perlengkapan latihan, kali ini mereka harus latihan ekstra karena akan ada penampilan beberapa hari lagi pada sebuah acara besar di Krueng Aceh, Khanduri Laot. Tarian yang akan dipentaskan adalah tarian ranup lampuan, tarian khas Aceh untuk penyambutan tamu-tamu yang datang dan dalam acara seremonial ditarikan oleh tujuh atau sembilan penari wanita diiringi oleh music “seurunee kale”. Pada akhir tarian para penari menawarkan ranup untuk para tamu sebagai rasa hormat walaupun tidak seorangpun wajib memakannya.

“Dek noeng, kamu saja yang belikan ranup dipasar aceh ya..” kata Novi padakku untuk membeli ranup yang akan diberikan oleh para penari kepada tamu undangan yang akan hadir dalam khenduri laot pada hari kamis ini. Ranup adalah sirih yang sering dimakan oleh orang Aceh sebagai daun yang berkhasiat. Secara tradisional digunakan sebagai kunyahan setelah makan dan sering disajikan untuk menunjukkan rasa hormat kepada tamu.

“Njoe na kanduri laot uro ameh njoe ” kata ayah. Beberapa hari lagi orang tua kami yang manyoritas adalah nelayan akan mengadakan khanduri laot di Krueng Aceh.
“Krueng Aceh ini adalah salah satu sungai yang letaknya sangat strategis yang ada di Aceh, dan sudah menjadi sentral nelayan untuk menangkap ikan sejak masa kerajaan Sultan Iskandar Muda” kata Wak Yan, mantan wakil panglima laot Krueng Aceh yang juga merupakan keturunan nelayan generasi ketiga sejak masa kejayaan kerajaan Aceh. Dalam usianya yang hampir enampuluh tahun beliau masih memiliki ingatan dan wawasan yang sangat kuat tentang khanduri laot dan hal-hal yang berkaitan dengan laut

“Di Aceh njoe antara adat ngoen agama hana jeut meupisah ” kata beliau sambil memceritakan sedikit tentang kerajaan Aceh yang jaya sebagai kerajaan dengan kekuatan Islam yang sangat luar biasa, karena dalam semua hal hukum agama selalu menjadi acuan dalam beribadah dan juga menggunakan hukum adat dalam hal hubungan kemasyarakatan selama tidak bertentangan dengan hukum agama dan ini masih tetap digunakan dimasyarakat sebelum adanya hukum negara dan masih tetap ditegakkan hingga sekarang meskipun ada sebagian yang sudah lutur.

“Tapi njoe harus tetap tapeukong” lanjut beliau sangat bersemangat mengharapkan adat yang tak bertentangan dengan agama tetap harus ditegakkan agar tidak banyak permasalahan dan ketimpangan social yang terjadi dimasyarakat.

“Ditempat kita setiap tempat memiliki aturan mainnya, seperti dilaut ada Panglima Laot, disawah ada Keudjreun Blang, dipasar ada Haria Peukan, dan dihutan ada Pawang Rimba” kata Kak Dek Na, pimpinan sanggar Puekat, salah satu sanggar yang membina anak-anak nelayan yang ada diperkampungan nelayan, Lampulo .

“Fungsinya itu banyak sekali, namun tujuannya sama-sama menjaga ketertiban dimasyarakan dengan menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi” lanjut beliau disuatu petang sambil membantu kami membereskan peralatan sanggar.

Seperti tugas seorang Keujreun Blang, bersama-sama masyarakat memimpin memikirkan bagaimana pemasaran hasil panen sawah nantinya setelah keumukoh , agar masyarakat tak rugi. Ada pepatah yang sangat popular dimasyarakat Aceh “Jaroe bak langai, mata u pasai”.

Inilah Aceh, disini setiap aktivitas masyrakat memiliki aturan main tersendiri yang diatur oleh pemimpimpin masing-masing atas dasar kesepakatan bersama.
****

“Tulong bagah bacut, karap poh lapan njoe..! ” seru Apit, salah seorang pengurus sanggar kepada anak-anak penari agar segera begegas menuju area Khanduri laot yang tak jauh dari sanggar.

Dalam perjalanan menuju lokasi khanduri laot, dari kejauhan sudah tampak para tamu yang hadir. Membuat kami semakin terburu-buru untuk segera sampai.
Beberapa menit kemudian kami sampai, akhirnya para penaripun mengabil posisi masing-masing untuk menari menyambut tamu. Acara hari ini akan dibuka oleh wakil gubernur Aceh Muhammad Nazar. Dalam acara ini seperti biasa akan dihidangkan masakan-masakan khas Aceh disamping masakan khas Khanduri laot, hidangan gulai daging kerbau, kemudian akan diisi juga dengan lantunan ayat-ayat suci oleh pengajian Mesjid Raya. Ada dua belas kerbau yang disembelih dalam khanduri laot tahun ini.

“Njoe peng dari para nelayan, tahun ini dikutip dari 150 boat nelayan yang ada di Krueng Aceh nak….. dan Alhamdulillah selain bisa membeli beberapa ekor kerbau juga digunakan untuk sumbangan kepada anak-anak yatim” kata seorang nelayan yang juga sangat mengerti kondisi.

Khanduri laot adalah kegiatan adat yang tidak pernah lupa dilaksanakan oleh para nelayan yang ada di Aceh disaat memiliki rezeki dengan cara menyembelih lembu atau kerbau yang kemudian kepala berserta isi perut dari hewan tersebut dibungkus dengan kulitnya lalu dibuang kelaut dan diadakandalam 3 atau 5 tahun sekali. Secara kasat mata kita bisa melihat ini kegiatan ini hampir mirip dengan ritual ummat Hindu, seperti yang ada dipulau Jawa.

“Ini Cuma sebagai ucapan syukur kepada Allah yang telah memberikan kita rezeki dari laut, sehingga kita bisa memberi makan kepada anak dan istri” kata Wak Yan .

“Acara seperti ini, setelah Islam sangat kuat ada di Aceh sangat jauh dari ritual yang berbau syirik, karna kita bersyukur bukan kepada laut, namun kepada Allah, Sang Pemberi Rahmat” Lanjut beliau. Karena kegiatan khenduri laot ini sangat berbeda dengan apa yang dilaksanakan oleh ummat Hindu, khususnya yang ada di Pantai Laut Selatan, baik dari segi pelaksaanaan dan subtabsi.

Pantai Laut selatan yang menurut kepercayaan masyarakat dipulau Jawa dikuasai oleh Nyai Roro Kidul telah memberikan banyak anugerah sehingga harus diadakan hajatan disetiap hari senin atau kamis dalam bulan suro disaat malam kliwon, karena itu merupakan hari pantangan untuk melaut. Kerbau yang dipersembahkan haruslah dikejar-kejar terlebih dahulu ketika disembelih, agar darahnya membasahi pantai, dan keberkatanpun akan muncul. Dan mereka percaya bahwa ini akan mendatangkan rezeki yang lebih banyak.

Namun, melihat konteks Aceh yang sangat kental dengan nilai spiritual keislaman,
acara khanduri Laot ini hanyalah wujud syukur kepada Allah dengan cara mengadakan Khanduri bersama masyarakat dan anak yatim dan yang paling penting adalah doa bersama yang dipimpim oleh seorang tengku atau ulama. Acara ini dilakukan dengan penuh khidmat ketauhidan dan dalam praktiknya sangat hati-hati agar tak ada usur syirik dan riya.

“Khanduri yang kita adain ini tetap dengan menyembelih daging kerbau soalnya dagingnya itu banyak dan enak” Kata seorang panitia penyembelihan.
Menyingung persoalan mengapa kepalanya tetap dibuang kelaut, “sebernarnya semua ini tergantung niat dari yang melakukannya, kalau kita sih ini bentuk saling ketergantungan antara manusia, hewan yang ada dilaut, nah…..kalau kita membuang kepalanya kelaut ini akan mempengaruhi ekosositem laut kearah yang lebih baik dengan mempercepat pertumbuhan plankton-plankton sumber makanan bagi ikan, tapi… kalau dilihat dari sisi menjaga kebersihan lingkungan, jangan sering-sering jugalah kita buang sampah sembarangan..hehhe” kata seorang warga nelayan sambil tersenyum.

Sejak tahun 1316 ritual ini sudah ada di Aceh, namun tahun lalu berdasarkan hasil kesepakatan para Panglima Laot se-Aceh memutuskan bahwa khanduri dengan mengadakan pembuangan kepala kerbau kelaut sudah tidak dibenarkan lagi, hal ini merujuk pada penerapan syarian Islam di Aceh, walaupun kesepakatan ini tidak tertulis, namum tetap siapapun harus menjaga niat dari tujuan pembuangan kepala kerbau kelaut, bukanlah untuk sebuah persembahan, karna dalam hal apapun Allahlah tujuan kita, alam dan isinya Allahlah Sang Penguasa, dan Allahlah yang akan melebihkan dan mengurangi rezeki kita oleh karena itu hanya kepada Allah tempat kita persembahkan rasa syukur.

“Njoe siat teu na duk pakan njoe….. dengan para panglima laot lhok yang ada disekitar Banda Aceh seperti Panglima Laot Pasii tibang, Ulee Lhee, Lamtong dan lain-lain” Kata Wak Sol, seorang toke boat yang ada di Lampulo yang berada dibawah naungan Panglima Laot dari Krueng Aceh. Karena disetiap laut disini memiliki panglima yang berbeda yang disebut dengan panglima Laot Lhok yang berfungsi mengatur ketertiban dikawasanya masing-masing, seperti menyelesaikan sengketa antar nelayan. Permasalahan-pernasalan yang timbul ini akan diselesaikan dengan jalur musyawarah yang dipimpin oleh Panglima Laot dikawasannya bersama orang-orang yang bersengketa. Dengan tujuan menegakkan keadilan, sejak dulu Aceh sangat menjunjung tinggi nilai keadilan disemua sisi kehidupan pribadi dan masyarakat.

Pada dasarnya acara Khanduri Laot ini memiliki banyak tujuan yang mengandung berbagai hikmah. Selain sebagai wujud syukur kepada Allah yang telah menganuigerahkan laut sebagai tempat yang paling banyak meluapkan rezeki kepada manusia didarat, khanduri laot ini juga dijadikan masyarakat sebagai ajang silaturrrahmi sesama masyarakat.

“Sekarang zaman udah canggih, apa-apa pake telpon, sms, atau melalui media internet udah bisa berkomunikasi langsung dengan orang lain, jadinya intensitas tatap muka dengan teman, kerabat semakin berkurang, dan kita ga tahu keadaan mereka sebenarnya bagaimana” kata Luddin, seorang warga nelayan yang memiliki tempat pengolahan ikan keumamah yang juga hadir pada khenduri laot.

“Gini ni kan enak kita bisa ketemu langsung sekali-kali, kelihatan ternyata Nyak Maneh udah ga segendut dulu…hheheh” lanjutnya sambil melihat seorang ibu penjual nasi diwarung yang biasa disinggahi nelayan ketika pulang melaut disampingku.
Hampir ribuan masyarakat yang datang dalam syukuran para nelayan tahun ini, diantaranya adalah tamu undangan dan anak yatim yang diundang khusus untuk menikmati bersama hidangan yang telah disiapkan.

“Ini semua tergantung pada rezeki nelayan juga nak,,” kata salah seorang kakek saat mendengar pertanyaanku. “Pue tip thoen na khanduri njoe ?”
*****

Sebelum zhuhur acarapun sudah selesai. “Kak tolong bereskan peralatan tari ya.. kami mau jalan-jalan dulu sebentar” kata Nurul sambil terburu-buru meletakkam peralatan tari.

“Ya kak.. kami mau keliling dulu sebentar, mau liat-liat sungainya” sambung Aisyah sambil berlari meninggalkanku dengan segala pernak-pernik yang digunakan ketika menari tadi.

0 komentar: