21.51

Meski Cengkraman Tinggal di Ujung Jari

Meski Cengkraman Tinggal di UjungJari

Benarkah sudah bukan saatnya lagi berfikir arti semua ini, jika memang yang menggangga ini adalah tanah merah sang durjana jahannam, biarlah semua terkurung didalam. Jika memang kemarau datang dan Tuhan tak lagi ulurkan tanggan –Nya. Biarlah semua terkekang pada hakikat semu asal tak menjalar merekah . Biarlah meruah asal tak tumpah.

Siapa sebenarnya penguasa kebebasan. Apakah sama adanya seperti ayam, tak ada pencemburu sejati layaknya sang betina meski dia pelaku kejahatan "incest" tak ada hukum yang pernah bisa menjamahnya, atau malah bak sang jantan, sang "exbihitionist", yang menggagahilalu mematuk berulang-ulang kali pada betina seolah itu isyarat cintanya yang terselubung dalam kata "aku tak benar-benar ingin menikahimu".

Apa kebebasan itu sebenarnya.Akankah sama seperti elang yang terbang sejak datang pagi menuju mentari tapi bukan untuk membunuh diri.

Bagaimana kebebasan itu adanya.Haruskah tak ada tradisi terlangkahi, adat terkangkangi, atau berbagai siklus kehidupan lainnya yang tergagahi. Lahir, makan, uang, mati.

Dimana tempat kebebasan bersemanyam. Lantas saat ini yang terlihat air tidak pernah diizinkan terbang keatas. Dan daun basahpun tak pernah dipaksakan terbakar.
Mengapa katanya kebebasan dipaksa ada. Bukankah hidup ini ejaan takdir yang tlah dikelola, dirancang, lalu digilir tuk bersama cicipi siang sampai malam bergilir petang.

Padahal ada bahagia, senang,bangga, damai menyatu pada satu dimensi, lantas mengapa harus ada kesadaranyang tak mengatasi emosi, hinggap lenyap terbelenggu, terhempas pada dimensi terburuk,hingga tak ada kuas tuk lukis air. Karena memang perjalanan sudah satu garis,satu warna. Gelap. Mau apa kata, jangan sentil apapun yang membuat darahmengalir, andai meruahpun tak ada yang peduli, karna tak selamanya horizontal.

Siapa yang akan mengembalikan nyawacinta, setelah seabad lamanya terendam amarah yang berpacu bersaing untuk mendapat jejak Tuhan. Takkala darah itu mengalir ditangan, mengapa jemari tetap tak akan melepaskan, padahal yang kita punya nyawa diujung jari, akan kusumpal luka dengan rambut tergumpal, kubalut dengan sobekan baju dibadan, agar kuncuran darah tak lagi mencari tanah, agar darah beri'ktikaf dipundi sunyi, bersemanyam bersama gua rapuh.Hingga lumut terus menari, biarkan dinding menghijau lapuk bersama zikir,hingga kala gelap datang mencambuk mimpi keluar dari jasad, agar tak ada cakrawala yang tak terjamaah. Hingga ambruk dinding terajam angkara murka, laluterbang menyatu bersama topan, dan keabadiaanpun tiba, rantaipun tak beku lagi.

Entah apa arti peran yang dipahami,hingga belukar tak lagi jadi mantra tuk merangkak melintang mimpi. Hidup inipunya kita kawan, memang benar kematian itu lebih indah dan manis dibandingkanpercintaan bersama kemunafikan yang memaksa pisau bermata dua, memang tak sama selisih malam dan siang, bukan rentang gelap-terang yang menjadi cela. Karena memang semua arah ada dua, cawanpun tak sendiri penuh dengan kedamaian dan ketentraman, permusuhan dan kesulitanpun ada dan akan penuh terisi dicawanmisteri.

Tapi ini sepertinya permasalahanamanah kawan, bukan kebebasan. Kita ini memang organisme kolektif yang terikatkontrak sejak ruh disumpal kejasad. "Qalu balaa syahidna". Kontrak vertikalpunterbentuk, harusnya menyadarkan kita tak harus terlalu bergantung pada kontrak'baru' horizontal terlalu kuat.

Tak seharusnya kerangka kita sajayang dilihat dari stabilitas dan perubahan, karna memang kita sama dengan mereka, semua berpeluang menghancurkan. Bukankah Tuhan pernah berkata "..Tlahterjadi kerusakan dimuka bumi karna ulah dan perbuatan manusia..". Manusiakawan! Manusia. Bukan hanya kita, tapi juga mereka.

Tak ada yang lebih hina kawan,karna memang "manyuhinillahu famaa lahuumin mukrimin, innallaha yaf'alu maayasyaa' ".

Bukan hanya duri yang terlalu tajammenusuk, karna memang jemari-jemari itu tak pernah membiarkan lepas meski diujungkuku. Lubang-lubang memang telah banyak tersumbat, tapi bukan berarti darah taklagi punya tempat. Tapi kawan, jangan terlalu putih menilai kapas, karena memangdalam hitungan sepersekian menit umur bisa menyusut, dalam sepersekian detik bumi akan menyempit.

Kita selau mengharapkan orang lainsopan atas kita, menghargai kita, tapi kita sendiri tidak tahu berapa harga diri itu, jangan salahkan orang lain. Karna sampah pun tidak akan pernah menjadi debu tanpa asap dari dirinya sendiri.

Kita tahu kawan, kayupun tidak akanpernah sempurna menjadi mawar jika dilempar begitu saja, hingga yang mereka lihat hanya belukar, penuh duri, hanya akan menjadi beban, agar tak terlalumengusik lalu ditebang agara tak memanjang terlalu jauh dan menahan langkah.Terlalu cepat berlari sebelum dikejar, keindahan pun terabaikan. Ada mawar dibalik belukar.

Bersabarlah sedikit saja, menikmati proses ini selagi pagi menetap sebelum senja dan akhirnya "hasbunallah wanikmal wakil"

"allahumma inni a'uzubika min hammiwal huzni, wal 'ajzi walkasali, walbukhli wal jubni, wa dhala'iddaini waghalabatirrijaal"

Semoga tak ada kisah yang hilang disaat kita menerjang gemuruh dan mereka menghantam badai. Kalaupun nantinya kita sama-sama terjepit disela batu karang, kuharap tak sesempit itu kita menarik kesimpulan. Karna darah yang menguncur terlalu berharga dari merah rekah mawar...


Lampulo, Ramadhan 1431 H

0 komentar: